Ivana Lie, mantan pebulutangkis Indonesia yang lahir 7 Maret 1960 ini banyak menyimpan kisah yang mengecewakan. Kisah mengecewakan ini selalu berakhir dengan PBSI.
1987 Ivana mundur dari Pelatnas karena kecewa, sekalipun potensi dan prestasinya masih bagus. Di tahun itu, ia baru saja menjadi juara ganda putri All England bersama Rosiana Tendean. Itu merupakan gelarnya yang keempat di kejuaraan tersebut setelah tahun 1983 dan 1984 di ganda campuran (bersama Christian Hadinata), dan di tahun 1986 (bersama Verawaty Fadjrin).
“Saya sudah merasa seperti habis manis, sepah dibuang, jadi hati saya sudah tidak bisa lagi membiarkan kalau saya tetap di Pelatnas,” katanya. Tapi ia tidak mau mengungkapkan alasan yang sesungguhnya.
Pasca era reformasi, hubungan Ivana-PBSI dapat kembali lagi dan Ivana dipercaya menjadi pelatih nasional. Tapi ujung-ujungnya berakhir duka lagi. Ia diberhentikan dan parahnya lagi, ia tahu keputusan itu justru dari media massa.
Ivana mengenal bulutangkis dari orangtuanya Lie Chung Sie dan dilatih Sian Sugiarto di klub Mutiara Bandung. Ia memulai kiprahnya di tahun 1974 walau pun baru tahun 1976 dia ditarik ke Pelatnas di Jakarta.
Pencapaian tunggal terbaik didapatnya tahun 1980 saat Ivana maju ke final kejuaraan dunia dengan mengalahkan pemain papan atas Eropa, Lene Koppen dari Denmark. Namun, dia kalah dari Verawaty di final.
Momen yang paling mengesankan bagi Ivana adalah sehabis menjalani operasi di tahun 1983, dia malah merebut sejumlah gelar, yakni di Indonesia terbuka dan sekaligus menjadi juara nasional. “Pada waktu itu, operasi menjadi momok bagi pemain, soalnya belum ada jaminan bisa kembali sediakala seperti sekarang. Ternyata sedikit demi sedikit, saya bisa pulih 100 persen”, kata Ivana tentag operasi kakinya.
Di tunggal Indonesia Terbuka dia menundukkan dua pemain China yang merebut gelar juara yakni Zheng Yuli dan Qian Ping, suatu hal yang luar biasa baginya karena waktu itu pemain China mula mendominasi dunia yang kemudian ditandai dengan lahirnya Li Lingwei dan Han Aiping. Di ganda campuran, berpasangan dengan Christian Hadinata, dia pun berjaya. Setahun sebelumnya, di Asian Games 1982, dengan Christian pula dia berhasil merebut medali emas ganda campuran dengna mengalahkan rekannya Icuk Sugiarto dan Ruth Damayanti di final. Sukses disana memberi arti, karena itulah pencapaian terbaiknya di multi event tingkat Asia.
“Waktu itupun latihan saya kurang dan setibanya di New Delhi saya malah jatuh sakit. Untung akhirnya juara. Sebenarnya kami malah berjuang habis-habisan di semifinal karena berhadapan dengan pasangan Cina (Lin Jiangli/Lin Ying). Kalau di final bebannya sudah berkurang,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar