Pebulutangkis kelahiran Kudus, Jateng, 5 Agustus 1958 ini sudah tidak asing lagi dikenal oleh para pecinta bulutangkis khususnya di Indonesia. Ketika masanya, masih banyak pebulutangkis yang terkenal yang membuat ia sulit menjadi bintang. Saat ia masuk Pelatnas tahun 1978 masih bercokol juara All England Liem Swie King, serta seniornya seperti Hadiyanto, Dhani Sartika. Ada pula yang mulai naik daun Lius Pongoh.
Walaupun begitu, karena ia sudah ditempa bermental juara semenjak kecil, Hastomo bisa unjuk diri. Ia menjadi juara POPSI SPM di Solo tahun 1974, Surya Cup dan Suryanaga Cup tahun 1977, lalu Munadi Cup tahun 1979 di Semarang. Prestasi awalnya adalah menjadi juara SEA GAMES tahun 1979 di Jakarta. Ia masuk tim dengan menyisihkan Lius Pongoh. Waktu itu, yang dijagokan adalah Liem Swie King pengganti Rudy Hartono.
Ternyata King gagal. Bukan karena kalah bertanding tetapi kalah walk over dari pemain Lee Hai To dari Singapura, akibat bangun kesiangan dan terlambat 20 menit sampai di lapangan pertandingan di GOR Sumantri Bojonegoro. Keberhasilan Hastomo ini sedikit banyak mengobati hati pengurus PBSI dan KONI, yang akhirnya menskors King selama 3 bulan tidak boleh bertanding. Suksesnya itu membuat Hastomo banyak dikirim bertanding keluar negeri, termasuk masuk Tim Piala Thomas tahun 1981 walaupun belum menjadi pilihan utama.
Prestasinya bisa dibilang masih kalah dari Hadiyanto, Lius, apalagi King. Malah sial menimpanya. Dalam suatu tes doping saat ikut All England tahun 1982 dia dianggap meminum zat perangsang sehingga diskors selama setahun meskipun Hastomo ngotot hanya minum jamu. Usai menjalani skors, Hastomo tidak surut malah berhasil merebut beberapa gelar juara lagi seperti Piala Alba di Kuala Lumpur tahun 1983. Dan 1984 dia mengukirkan nama di mata jutaan penonton Indonesia setelah menjadi penyelamat tim Indonesia saat berhadapan dengan Cina di Final Piala Thomas di Kuala Lumpur.
Saat itu, format pertandingan sudah 5 partai. Berubah dari 9 partai seperti sebelumnya saat Indonesia dikalahkan Cina di London tahun 1981. Penonton seperti sudah kehilangan harapan karena 2 tunggal pertama Indonesia, Liem Swie King dan Icuk Sugiarto dikalahkan Luan Jin dan Yang Yang. Tertinggal 0-2 meskipun semula diperkirakan setidaknya skor menjadi 1-1. Di set pertama meskipun memberikan perlawanan keras, Hastomo ditundukkan pemain kenamaan Cina, Han Jian, 14-17.
Namun dengan permainan konsisten dan tenang, Hastomo bisa membalikkan keadaan sehingga menang 15-6 di set kedua. Akhirnya di set penentuan, Hastomo bisa menag 15-8 untuk membuat Indonesia tidak kehilangan harapan lagi. Benar saja, akhirnya Indonesia bisa kembali merebut piala Thomas setelah 2 angka terakhir direbut melalui pasangan Christian Hadinata/ Hadibowo dan King/Hartono. Skor 3-2 itu membuat Indonesia merebut Piala Thomas untuk kedelapan kalinya. “Itu kenangan paling indah bagi saya”, kata Hastomo.
“saya dari awal memang main tanpa beban, yang penting layani saja. Itu yang bikin akhirnya saya menang”. Ketika kontingen Indonesia pulang, Hastomo langsung menjadi pahlawan, diundang kemana-mana dan diberi hadiah. Dia juga sempat menjadi selebritis dan sempat masuk ke dapur rekaman untuk menyanyi. Kasetnya berjudul “Sentuhan Cinta” beredar, meski ia mengaku, kini dia tidak punya lagi koleksi kaset satu-satunya yang berisi suara merdunya itu.
Hastomo tetap bertahan di Pelatnas ikut sejumlah pertandingan di Eropa namun prestasinya tidak bagus. Ditambah dengan ciderra pinggang yang dia dapat dari suatu turnamen, Hastomo tahu diri bahwa masanya sudah lewat. 1986 seblum ada seleksi Piala Thomas dia mengundurkan diri dari Pelatnas dan bekerja di POR Djarum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar