Hampir sebagian besar karirnya sebagai pemain bulutangkis bagi Retno Kustiyah, Minarni adalah rekan sejiwa. Dalam berbagai kesempatan penting, di puncak prestasi mereka, keduanya menjadi pasangan yang tidak terpisahkan. Bahkan hubungan mereka tidak sekadar teman saja, karena abang kandung dari Minarni menikahi pasangannya itu. Mereka pun pernah bersama-sama menjadi pelatih di Pelatnas Cipayung.
Kelahiran 19 Juni 1942, Padang Panjang ini pernah tidak pernah berhasil di saat-saat yang penting yaitu saat masuk Tim Piala Uber tahun 1975. Dia hanya menjadi penonton, karena cidera yang dialaminya dalam uji coba menjelang kejuaraan beregu.Saat itu cara PBSI untuk menyeleksi pemain yang masuk tim inti adalah dengan mengikutkan mereka dalam uji coba ke berbagai kota.
“Sayang sekali sih. Rasanya kalau tidak cedera saya akan bisa masuk ke dalam tim,” kata pensiunan Departemen Pendidikan ini, walaupun pada waktu itu, usianya sudah tergolong tua yaitu, 31 tahun.
Cedera yang dialaminya mengakhiri kebersamaan Retno dengan Minarni, yang kemudian dipasangkan dengan Regina Masli. Retno lahir sebagai pemain di saat yang kurang tepat. Ketika dia menginjak usia prestasi di pentas nasonal masih bertahan para pemain senior, seperti Corry Kawilarang, Oie Lin Nio, Ong Hong Nio. Sedangkan di rekan seusianya ada Minarni yang tengah melejit. Itu sebabnya di nomor tunggal Retno hampir tidak pernah menjadi juara pertama. Dia cuma merebut medali perunggu di PON 1961 untuk nomor tunggal, di bawah Minarni dan Corry.
Sementara di bagian ganda, (berpasangan dengan Goei Kiok Nio). Saat itu, Retno merebut perak, setelah dikalahkan pasangan Minarni/ Nyoo Koen Nio (Jatim) di final. Di kancah nasional maupun iternasional, Retno lebih dikenal sebagai pemain ganda. Bersama Minarni, Retno tercatat 3 kali menjadi juara nasional, yakni tahun 1963, 1964, dan 1967. Dalam kejuaraan Asia III di Jakarta tahun 1971, dia menjadi juara ganda putri (dengan Intan Nurcahya) dan ganda campuran (dengan Christian Hadinata).
Puncak prestasi di Asia adalah di Asian Games, dengan merebut medali emas ganda putri di tahun 1962 dan 1966, serta medali perak di Asian Games 1970 setelah kalah dari Aiza/Hisuko Takanaka.
Tahun 1962 di Jakarta, Retno/Minarni mengalahkan senior mereka Corry Kawilarang/Happy Herowati di final, sementara tahun 1966 di Bangkok, Retno/Minarni menundukkan jagoan Jepang, AMANO/TAKAHASI.
Sebagai pemain, kenangan yang paling berkesan bagi Retno adalah saat menjadi juara di All England tahun 1968. Karena berhasil menjadi juara, maka sidang MPR di Jakarta merasa perlu berdoa mensyukuri kemenangan mereka.
Menurut beliau, persiapan dia hanya yang ala kadarnya, karena tidak yakin akhirnya bisa berangkat, juga menjadi salah satu kenangan manisnya. “Kami berangkat tidak membawa overcoat, padahal London saat itu sangat dingin. Jadi sambil menunggu pemain, kami harus bergerak-bergerak agar tetap hangat”, kenang Retno.
Waktu itu, para pemain harus mencuci pakaian sendiri sehabis pulang main, karena menginap di wisma Indonesia, milik KBRI. Makan pun dimasak pegawai KBRI. “Sangat jauh dibanding fasilitas para pemain seperti sekarang”.
Dalam pertandingan, menurut beliau, tidak adanya target dari PBSI, malah menjadi membuat semua pemain bertekad untuk menang. Semangat besar itu juga ditunjukkan saat Retno dan Minarni menghadapi Amano/Takagi di final di Wembly Arena. “Dengan bermain lepas tanpa beban, kami akhirnya bisa menang dengan straight set, angka lawan di bawah sepuluh”, kata Retno.
Sebagai pelatih di Pelatnas, kenangan termanisnya adalah saat Indonesia merebut piala Uber untuk kedua kalinya di tahun 1944. Waktu itu dia mendampingi Mia Audiana yang merupakan pemain termuda dalam tim dan menjadi tunggal ketiga penentu kemenangan Indonesia atas Cina di final meski sempat diragukan.
“Walaupun underdog karena peringkat pemain putri kita semua dibawah pemain Cina, toh akhirnya tim Indonesia bisa menang karena kebersamaan yang sangat besar antara pelatih dengan pemain,” kata Retno.
Kebersamaan inilah yang menurut Retno harus terus diupayakan dalam pembentukan sebuah tim karena akan selalu menjadi kunci keberhasilan. Di tahun 1996, Retno juga menjadi pedampimng Mia yang mampu merebut medali perak di Olimpiade Atlanta, karena dikalahkan Bang Soo-hyun (Korea Selatan) di final. Sayang, kemudian Retno tidak mampu mencegah keinginan keras Mia untuk pindah dan menjadi warga Belanda karena ikut suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar