Nama lengkap : Welhelem Gommies
Nama panggilan : Welem / Wiem
Tempat tanggal lahir : Ambon, 6-12-1946
Kenalkah Anda dengan sosok yang satu ini ? Bagi kaum pria khususnya yang menyukai tinju, tentu tidak asing lagi dengan nama ini.
Wiem Gommies,sebuah nama yang lebih dikenal daripada nama aslinya Welhelem Gommies. Beliau tidak hanya dikenal didalam negeri sendiri, tetapi juga telah dikenal di negara lain sebagai petinju dari Indonesia yang tangguh.
Ketenarannya dikenal dalam Asian Games yang diadakan tahun 1970. Saat di babak final, beliau berhasil “menumbangkan” petinju yang berasal dari Pakistan yang telah dua kali meraih juara Asia .
Setelah Asian Games, dua tahun kemudian (1972), beliau kembali menunjukkan kehebatannya dengan memperoleh juara Asia di Iran.
Bila dihubungkan dengan perilakunya yang pendiam, orang tidak akan menyangka ternyata beliau sangat garang dan berani di atas ring.
Mengapa ia dijuluki “pendeta”? karena perilaku beliau yang tidak “meledak-ledak” seperti kebayakan orang Ambon lainnya. Tapi begitu memasuki ring tinju, perilakunya sudah berubah menjadi lebih garang.
Kelahiran Ambon ini sebenarnya bukan berasal dari keluarga yang sangat menyukai tinju. Wiem bisa dibilang, sudah agak terlambat menggeluti tinju secara serius. Saat di usia 21 tahun, tepatnya tahun 1967, beliau baru serius menggeluti dunia tinju ini.
“Awalnya tertarik di dunia tinju karena banyak remaja di kampung saya yang menggeluti olahraga keras ini. Mungkin karena orang Ambon berkarakter keras dan menjadikan tinju sebagai media untuk berkspresi,” katanya. Karena itu, Wiem pun merasakan bagaimana kerasnya berlatih tinju. Dibawah asuhan pelatinhya Teddy Van Room, Wiem mulai memahami bagaimana cara bertinju dengan baik.
Satu tahun dilatih, Wiem kemudian mencoba kemampuaanya dengan tampil dalam kejuaraan lokal, seperti Iramasuka (IRIAN, MALUKU, SULAWESI, KALIMANTAN) .
Hasinya ternyata sangat menggembirakan dan juga mengejutkan. Mengapa? Karena beliau berhasil menjadi juara.
Karena keberhasilannya dalam kejuaraan Iramasuka itu, ternyata menjadi pintu bagi Wiem untuk mengembangkan karirnya di tinju amatir nasional.
Dan di PON VII/1969 di Surabaya,Jawa timur, menjadi awal perjalanan prestasi Wiem di ring tinju nasioanal dengan merebut medali emas.
Saat bertanding di PON itu, Wiem merasa beruntung karena beliau harus dapat mengalahkan lawan-lawan tangguh lainnya seperti Rudy Siregar, dan Said Kasuari. Tapi yang terjadi? Wiem malah berhasil menumbangkan kedua lawan yang tangguh ini.
Setahun kemudian, Wiem berhasil masuk ke tingkat Asia. Pada tahun 1970 di Asian Games VI di Bangkok, Thailand, beliau berhasil merebut medali emas.
Kesuksesan kembali dilulang beliau di tempat yang sama pada tahun 1978. Saat itu, ia mengalahkan petinju (andalan) yang berasal dari Korea Selatan Kim Ji Mung di final. Keberhasilannya merebut emas di Asian Games 1978 itu dinilai sangat luar biasa karena umur Wiem tidak muda lagi (32 tahun) ditambah saat itu beliau sudah mempunyai empat orang anak. Tapi, Wiem berhasil membuktikan bahwa beliau masih mampu.
“Ketika upacara pengalungan medali yang diiringi dengan pengibaran bendera Merah putih serta dikumandangkannya lagi Indonesia Raya, air mata saya ini tidak dapat terbendung lagi”, kenang Wiem.
Tapi tahukah Anda, saat kesuksesannya di kejuaraan Asia itulah yang menghantarkan beliau mengikuti Olimpiade Muenchen, Jerman Barat dan disinilah kekalahan beliau . Ia tumbang di babak awal.
“Di Olimpiade tahun 1972 itu, konsentrasi saya tidak fokus pada pertandingan. Karena , di masa persiapan ke Muenchen tersebut, pelatih saya bapak Brigjen Sudarto meninggal dunia. Hanya berselang satu bulan, asisten pelatih saya juga meninggal”, kata Wiem.
Meskipun gagal memetik hasil lebih baik di Olimpiade 1972, Wiem mendapatkan pelajaran sangat berharga dari pesta olahraga dunia itu.
Dia terus berlatih lebih keras sehingga mampu mempertahankan posisinya sebagai petinju terbaik Asia beberapa tahun pasca-Olimpiade 1972 itu.
”Kita harus belajar banyak dari negara-negara sudah maju supaya disiplin kita kuat dan bagus. Kalau enggak, kita enggak bisa”, kata dia.
“Sebenarnya pelatih Indonesia harus mau banyak belajar dari pelatih asing, tetapi sayangnya banyak pelatih Indonesia malas belajar dari mereka,” ungkapnya. Ia banyak mendapat pelajaran tinju dan banyak mendapatkan ilmu dari pelatih-pelatih tinju asal Kuba dan Romania itu.
Akibatnya, banyak petinju Indonesia sebenarnya masih salah dalam melepaskan pukulan-pukulan jab, straight, dan lain-lainnya.
Wiem juga melihat porsi latihan dijalaninya dulu sebagai petinju, jauh lebih keras dari yang dijalani banyak petinju Indonesia saat ini.
Meski tidak mendapatkan imbalan besar, semangat untuk menjadi juara tertinggi menjadikan Wiem mampu bertahan lebih dari 10 tahun di dunia tinju dengan prestasi konsisten di atas.
”Kalau sekarang banyak petinju sudah puas sebagai juara PON saja. Mereka juga hanya muncul sebentar di atas, tetapi setelah itu hilang,” ujar Wiem
Beliau mengatakan,bahwa prestasi yang ia peroleh murni dipersembahkan bagi bangsa ini.
Saat ia bertanding, ia tidak memikirkan akan mendapatkan apa dari pengurus Peritina (Persatuan Tinju Amatir Indonesia) atau dari negara. Bagi beliau, meraih prestasi bukan karena iming-iming materi yang melimpah seperti yang terjadi saat ini. Ia mengaku miris melihat generasi yang sekarang yang semangat kebangsaanya sudah menipis.
Tahun 1983 ia mundur sebagai atlet. Beliau kemudian beralih profesi menjadi peltih. Sama seperti menjadi atlet, awal karir Wim sebagai pelatih dimulai dari Ambon, kotakelahirannya. Ia juga berhasil mengorbitkan petinju ke level nasioanl, seperti putranya sendiri Bara Gommies.
Nama panggilan : Welem / Wiem
Tempat tanggal lahir : Ambon, 6-12-1946
Kenalkah Anda dengan sosok yang satu ini ? Bagi kaum pria khususnya yang menyukai tinju, tentu tidak asing lagi dengan nama ini.
Wiem Gommies,sebuah nama yang lebih dikenal daripada nama aslinya Welhelem Gommies. Beliau tidak hanya dikenal didalam negeri sendiri, tetapi juga telah dikenal di negara lain sebagai petinju dari Indonesia yang tangguh.
Ketenarannya dikenal dalam Asian Games yang diadakan tahun 1970. Saat di babak final, beliau berhasil “menumbangkan” petinju yang berasal dari Pakistan yang telah dua kali meraih juara Asia .
Setelah Asian Games, dua tahun kemudian (1972), beliau kembali menunjukkan kehebatannya dengan memperoleh juara Asia di Iran.
Bila dihubungkan dengan perilakunya yang pendiam, orang tidak akan menyangka ternyata beliau sangat garang dan berani di atas ring.
Mengapa ia dijuluki “pendeta”? karena perilaku beliau yang tidak “meledak-ledak” seperti kebayakan orang Ambon lainnya. Tapi begitu memasuki ring tinju, perilakunya sudah berubah menjadi lebih garang.
Kelahiran Ambon ini sebenarnya bukan berasal dari keluarga yang sangat menyukai tinju. Wiem bisa dibilang, sudah agak terlambat menggeluti tinju secara serius. Saat di usia 21 tahun, tepatnya tahun 1967, beliau baru serius menggeluti dunia tinju ini.
“Awalnya tertarik di dunia tinju karena banyak remaja di kampung saya yang menggeluti olahraga keras ini. Mungkin karena orang Ambon berkarakter keras dan menjadikan tinju sebagai media untuk berkspresi,” katanya. Karena itu, Wiem pun merasakan bagaimana kerasnya berlatih tinju. Dibawah asuhan pelatinhya Teddy Van Room, Wiem mulai memahami bagaimana cara bertinju dengan baik.
Satu tahun dilatih, Wiem kemudian mencoba kemampuaanya dengan tampil dalam kejuaraan lokal, seperti Iramasuka (IRIAN, MALUKU, SULAWESI, KALIMANTAN) .
Hasinya ternyata sangat menggembirakan dan juga mengejutkan. Mengapa? Karena beliau berhasil menjadi juara.
Karena keberhasilannya dalam kejuaraan Iramasuka itu, ternyata menjadi pintu bagi Wiem untuk mengembangkan karirnya di tinju amatir nasional.
Dan di PON VII/1969 di Surabaya,Jawa timur, menjadi awal perjalanan prestasi Wiem di ring tinju nasioanal dengan merebut medali emas.
Saat bertanding di PON itu, Wiem merasa beruntung karena beliau harus dapat mengalahkan lawan-lawan tangguh lainnya seperti Rudy Siregar, dan Said Kasuari. Tapi yang terjadi? Wiem malah berhasil menumbangkan kedua lawan yang tangguh ini.
Setahun kemudian, Wiem berhasil masuk ke tingkat Asia. Pada tahun 1970 di Asian Games VI di Bangkok, Thailand, beliau berhasil merebut medali emas.
Kesuksesan kembali dilulang beliau di tempat yang sama pada tahun 1978. Saat itu, ia mengalahkan petinju (andalan) yang berasal dari Korea Selatan Kim Ji Mung di final. Keberhasilannya merebut emas di Asian Games 1978 itu dinilai sangat luar biasa karena umur Wiem tidak muda lagi (32 tahun) ditambah saat itu beliau sudah mempunyai empat orang anak. Tapi, Wiem berhasil membuktikan bahwa beliau masih mampu.
“Ketika upacara pengalungan medali yang diiringi dengan pengibaran bendera Merah putih serta dikumandangkannya lagi Indonesia Raya, air mata saya ini tidak dapat terbendung lagi”, kenang Wiem.
Tapi tahukah Anda, saat kesuksesannya di kejuaraan Asia itulah yang menghantarkan beliau mengikuti Olimpiade Muenchen, Jerman Barat dan disinilah kekalahan beliau . Ia tumbang di babak awal.
“Di Olimpiade tahun 1972 itu, konsentrasi saya tidak fokus pada pertandingan. Karena , di masa persiapan ke Muenchen tersebut, pelatih saya bapak Brigjen Sudarto meninggal dunia. Hanya berselang satu bulan, asisten pelatih saya juga meninggal”, kata Wiem.
Meskipun gagal memetik hasil lebih baik di Olimpiade 1972, Wiem mendapatkan pelajaran sangat berharga dari pesta olahraga dunia itu.
Dia terus berlatih lebih keras sehingga mampu mempertahankan posisinya sebagai petinju terbaik Asia beberapa tahun pasca-Olimpiade 1972 itu.
”Kita harus belajar banyak dari negara-negara sudah maju supaya disiplin kita kuat dan bagus. Kalau enggak, kita enggak bisa”, kata dia.
“Sebenarnya pelatih Indonesia harus mau banyak belajar dari pelatih asing, tetapi sayangnya banyak pelatih Indonesia malas belajar dari mereka,” ungkapnya. Ia banyak mendapat pelajaran tinju dan banyak mendapatkan ilmu dari pelatih-pelatih tinju asal Kuba dan Romania itu.
Akibatnya, banyak petinju Indonesia sebenarnya masih salah dalam melepaskan pukulan-pukulan jab, straight, dan lain-lainnya.
Wiem juga melihat porsi latihan dijalaninya dulu sebagai petinju, jauh lebih keras dari yang dijalani banyak petinju Indonesia saat ini.
Meski tidak mendapatkan imbalan besar, semangat untuk menjadi juara tertinggi menjadikan Wiem mampu bertahan lebih dari 10 tahun di dunia tinju dengan prestasi konsisten di atas.
”Kalau sekarang banyak petinju sudah puas sebagai juara PON saja. Mereka juga hanya muncul sebentar di atas, tetapi setelah itu hilang,” ujar Wiem
Beliau mengatakan,bahwa prestasi yang ia peroleh murni dipersembahkan bagi bangsa ini.
Saat ia bertanding, ia tidak memikirkan akan mendapatkan apa dari pengurus Peritina (Persatuan Tinju Amatir Indonesia) atau dari negara. Bagi beliau, meraih prestasi bukan karena iming-iming materi yang melimpah seperti yang terjadi saat ini. Ia mengaku miris melihat generasi yang sekarang yang semangat kebangsaanya sudah menipis.
Tahun 1983 ia mundur sebagai atlet. Beliau kemudian beralih profesi menjadi peltih. Sama seperti menjadi atlet, awal karir Wim sebagai pelatih dimulai dari Ambon, kotakelahirannya. Ia juga berhasil mengorbitkan petinju ke level nasioanl, seperti putranya sendiri Bara Gommies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar