Bagi sobat semua pecinta bulutangkis, pasti tidak asing lagi dengan beliau ini. Dia merupakan pelatih badminton di Indonesia. Ok, mari kita lanjutkan membahas tokoh yang satu ini lebih dalam lagi.
Christian Hadinata, ya, sosok mantan pemain bulutangkis Indonesia yang lahir di Purwekerto, 11 Desember 1949 tetap setia pada dunianya, yakni bulutangkis. Tidak sedikit tawaran melatih di luar negeri, tapi selalu ditolaknya.
“Bulutangkis telah memberi saya banyak sekali, karena itu saya tidak ingin meninggalkannya,”. Bulutangkis juga diartikannya sebagai negerinya, Indonesia.
“Bagaimana hati saya nanti kalau saya harus melatih pemain yang akan melawan pemain negara saya, Indonesia?” begitu ucapannya tetang tawaran melatih di negara luar. Dia tidak mau hatinya bercabang. Dia ingin hati yang tenang.
Awalnya beliau bermain di Purwekerto, tapi tidak sampai ke puncak. “Maklum, orangtua saya bukan orang yang berada, kami harus berpikir ulang jika mau terjun ke dunia bulutangkis”, kata Christian. Ayahnya bekerja sebagai guru SD, dan ibunya seorang penjual makanan. Hal ini lah yang membuat Christian untuk tidak memungkinkan terjun ke dunia bulutangkis yang memerlukan peralatan yang tidak murah. Dia lantas memilih sepak bola dan bermain dengan anak-anak kampung. “Sepatu bola kan bisa dibagusi lagi bila rusak,” tutur Christian.
Lalu kemudian tahun 1967, saat ia pergi berlibur ke rumah kakanya, Christian Prasetyo, di Bandung, arah nasibnya seakan berubah. Terutama sejak ia diperkenalkan kepada Drs.Irsan, waktu itu menjabat sebagai Dekan Sekolah Tinggi Olahraga (STO) di Bandung, yang kemudian menguji kemampuannya melalui Sukartono, pelatih Klub Mutiara dan dosen bulutangkis STO itu.
Christian pun lulus dan diterima menjadi mahasiwa STO, sekaligus pemain bulutangkis klub Mutiara. Tahun 1969, bersama Atik Jauhari, menjuarai ganda putra Jawa Barat, yang kemudian membawanya ke Pelatnas. Selain itu, gelar juara nasional pun direbutnya. Pasangan ini pecah karena Atik terkena shuttlecock dalam suatu latihan, padahal momen saat itu adalah menjelang kejuaraan Asia di Jakarta.
Christian lalu dipasangkan dengan Ade Chandra yang ternyata lebih padu. Mereka juara All England tahun 1972 dan 1973. Tahun 1974, Chirstian gagal dihadang juniornya, Tjuntjun/Djohan Wahjudi. Saat itu, ia tidak terjun dengan Ade Chandra, tetapi dengan Iie Sumirat. Ade cidera karena kecelakaan motor. Tahun 1979 Christian juara lagi tetapi bukan di ganda putra melainkan ganda campuran bersama Imelda Wiguna.
Di All England, Chirstian juga berperestasi di sektor tunggal. Dia menjadi finalis tahun 1973 dan kalah di final dari Rudy Hartono. Di semifinal dia mengalahkan pemain Denmark yang urakan dan beberapa bulan kemudian mengalahkan Rudy Hartono dan Svend Pri. Di kejuaraan Asia 1971, ia juga pernah menjadi juara di sektor tunggal. Ade Chandra merupakan pasangannya yang paling lama dan banyak mengukir prestasi.
Selain menjuarai All England, mereka juga menjadi juara dunia pada tahun 1980. Pada kejuaraan itu, Christian juga menjadi juara ganda campuran bersama Imelda Wiguna.
Bermain ganda memang kekuatan Christian. Dia bisa bermain dengan siapa saja, dan dengan tipe pemain apa saja. Ia pernah dengan Icuk Sugiarto yang tipe permainanya bertahan , juga dengan Liem Swie King yang penyerang.
“Saya selalu mengenang kemenangan pertama saya di All England,” kata Christian. Mereka tidak diunggulkan tetapi sukses menjadi juara. Pasangan yang mereka kalahkan antara lain Tan Aik Huang/G.Soong (Malaysia), David Eddy/Suton (Inggris), Petersen/Walde (Denmark), dan Stuart/Tarbott, serta yang terakhir Stevens/Tredgett. Kenangan tahun 1980, pada kejuaraan Dunia di Jakarta, juga masih membekas.
“Saya menjadi juara ganda putra dan ganda campuran,”. Sebenarnya saat itu dia sedang menghadapi beban mental yang berat. Dua hari menjelang kejuaraan, istirnya, Yoke Anwar, yang sedang hamil tua, kecelakaan dan kakinya patah. Oleh karena tinggal di lantai dua Pelatnas Jalan Manila, yang sekarang sudah menjadi kawasan Plaza Senayan, Yoke harus dipapah untuk naik-turun tangga.
Beruntung, ketua PBSI saat itu, Sudirman (almarhum) menyediakan mobil dan pengemudinya, sehingga sewaktu-waktu bisa digunakan. Akibat lain dari itu adalah Christian bisa bermain tanpa beban. “Menang syukur, kalah tidak apa-apa”.
Dalam sektor ganda, Christian juga merasakan nikmatnya sebagai pelatih. Ia pula yang menjadi arsitek banyak bintang baru ganda Indonesi, mulai dari era Eddy Hartono/Gunawan yang merebut medali perak Olimpiade Barcelona sampai kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar