Ya, seperti judul diatas, mereka berasal dari klub yang sama, TANGKAS BOGASARI. Mereka berdua masuk ke Pelatnas Bulutangkis Indonesia sebagai tunggal putra. Mereka sama-sama berpotensi besar, andalan tim bulutangkis nasional, dan berkali-kali masuk dalam tim Piala Thomas. Tetapi keduanya baru berhasil meraih prestasi tertinggi sebagai pebulutangkis di usia yang mulai menua.
Joko misalnya, sudah mencapai babak-babak atas kejuaraan yang dia ikuti tidak lama setelah menghuni Pelatnas tahun 1985. Joko kerap menjadi finalis, seperti di All England tahun 1990 sebelum akhirnya dikalahkan Zhao Jianhua dan tahun 1993 dikalahkan Harianto Arbi. Namun, meskipun masuk dalam jajaran top player dia butuh waktu 6 tahun lebih untuk berhasil merebut juaranya yang pertama.
“Yang paling berkesan justru ketika saya menjuarai Swiss Terbuka tahun 1992. Itu memang hanya kejuaraan kecil saja tetapi, itu gelar pertama buat saya,” ujar Joko. PB PBSI waktu itu mengambil keputusan untuk mengirimkan Joko ke turnamen bintang dua atau tiga agar bisa menjadi juara. Benar saja, upaya itu berhasil karena lawan-lawannya bukan sekelas dia. Kemenangan di Swiss bagi Joko ibarat membuka pintu yang selama ini tertutup baginya. Setahun kemudian, Joko menjadi juara dunia di Birmingham, dengan menglahkan rekan senegaranya Hermawan Susanto di final. Ini merupakan prediksi tertinggi yang bisa dicapai seorang pebulutangkis selain juara Olimpiade. Ia memang kalah bersaing dari tiga rekannya dalam kualifikasi ke Olimpiade Barcelona 1992, Yakni Alan Budikusuma, Ardy B Wiranata, dan Hermawan Susanto. Sebab satu Negara hanya boleh mengirimkan maksimal tiga pemain di tiap nomor dan Joko dalam perolehan angka seri grandprix cuma ada di peringkat empat.
Joko yang menjadi anak Solo kedua sebagai juara dunia setelah Icuk Sugiarto pada tahun 1980, dikenal sebagai pemain yang stylish dengan pukulan yang halus, membuat lawan sukar menebak pukulannya. Pemain Eropa banyak yang jera apabila berjumpa dengan Joko karena biasanya habis bertanding, pinggang terasa patah akibat perubahan arah bola Joko yang menyulitkan. Namun salah satu kekurangan Joko adalah dalam fisik, sehingga dia kerap tidak main dalam tiga set.
HENDRAWAN
Hendrawan juga tidak mampu mengukir prestasi monumental di usia muda. Puncak-puncak perestasi justru datang ketika dia mendakati usia ke-28 tahun di Olimpiade Sydney tahun 2000. Meski tidak meraih juara, Hendrawan meraih medali perak dan cuma kalah dengan Ji Xingpeng dari Cina. Sekitar delapan bulan kemudian, ia Berjaya di kejuaraan Dunia tahun 2001 di Sevilla dan menjadi juara dunia tunggal putra terakhir yang dimilki Indonesia. Usai mengalahkan Peter Gade di final, Hendrawan yang saat itu baru saja menikah mengatakan, dia membuktikan masih dapat berprestasi meski banyak orang mengatakan dirinya sudah tua melihat usianya dan statusnya yang sudah menikah.
Kiprahnya tidak berhenti sampai disitu. Tahun 2002 saat usianya mendekati 29 tahun, dia memenuhi tugasnya menjadi penentu kemenangan Indonesia di Piala Thomas yang berlangsung di Guangzhou, Cina. Turun di partai terakhir, Hendrawan mengalahkan Muhammad Rosalin Hasim untuk memastikan kemenangan Indonesia atas Malysia 3-2.
Joko dan Hendrawan mampu menjalani karir yang panjang dan mencapai prestasi di paruh karir mereka karena keduanya mampu melihat segala sesuatu dari sisi positif. Kekurangan tidak dilihat sebagai kelemahan, kendala dianggap sebagai tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar