Ketika Olich
Solihin memutuskan untuk melatih tim bulutangkis Kanada tahun 1974, kontroversi
terjadi. Banyak yang menilainya tidak nasionalis. Tapi belakangan semua
menyadari, itu bukan sekedar pilihan hidup seorang Olich. Olich seperti sedang “mengajarkan”
mengenai profesionalisme. Di sisi lain, Olich harus diakui turut mengibarkan
bendera bulutangkis, dimana saat itu posisi Indonesia sangat kuat.
Salah satu
prestasi almarhum Olich Solichin yang berbekas hingga sekarang adalah mantapnya
posisi Korea Selatan sebagai elite bulutangkis dunia. Berkat polesannya yang
melatih di sana tahun 1983, permainan atlet bulutangkis Korsel yang semula
kaku, berubah menjadi mulus, khususnya di bagian putra. Ini karena Olich
memiliki karakter permainan khas Jawa Barat yang lincah.
Sebelum kedatangannya,
prestasi negeri ginseng secara sporadis sudah ada tapi belum begitu menonjol
baik di kawasan Asia maupun internasional. Pegalamannya yang segudang sebagai
pemain dan pelatih membuat Olich mampu menularkan ilmunya dengan baik bagi
pemain-pemain Korea Selatan.
Kelahiran Tasikmalaya,
17 April 1926 yang mempunyai 9 orang anak ini, termasuk pelopor munculnya Jawa
Barat dalam perbulutangkisan nasional yang marak kembali setelah Indonesia
mencapai kemerdekaan. Rekan seangkatannya antara lain Rusdi, Apit, Eddy Yusuf
dari Bandung dan Kusumayadi dari Bogor. Ketika Eddy pindah ke Jakarta tahun
1952 , Olich tetap bertahan di Jawa Barat. Namun dalam hal prestasi, ia selalu
kalah bersaing dari pemain yang lebih muda usianya.
Pada kejuaraan
dalam rangka Kogres PBSI 1952, dia gagal masuk 4 besar. Hanya Kusumayadi dari
Jabar yang bisa bertahan bersama Ferry Sonneville, Eddy, dan Tan King Gwan. Prestasinya
pun berhasil dilewati juniornya yang lain, Tan Joe Hok, yang melejit di usia
belasan tahun. Walaupun demikian, Olich termasuk pemain yang serin diundang
untuk ikut seleksi nasional. Baik untuk pembentukan tim maupun dikirim
bertanding ke luar negeri seperti ke Malaya atau India.
Dalam suatu
pertandingan di Kuala Lumpur tahun 1955, Olich membuat penonton tercengang ketika dia menaklukkan juara All England 3 kali (1953-1955), Eddy
Choong, di depan publiknya sendiri. Padahal, Eddy sang legenda Malaysia itu tidak hanya
ditakuti pemain Asia, tapi juga di seluruh dunia karena hampir tidak ada yang
pernah mengalahkannya.
Ia ikut ke
Australia dan Selandia Baru ketika regu Indonesia harus berttarung di
penyisihan interzone Piala Thomas pada
bulan Oktober tahun 1957. Dia menjadi tunggal kedua di antara Tan Joe Hok dan
Lie Po Djian.
Setelah berhenti
menjadi pemain, Olich langsung menjadi pelatih. Bahkan di Tim Nasional yang
disiapkan untuk Piala Thomas, tahun 1964 dan pelatnas Asian Games. Salah satu
ketrampilannya yang juga banyak dikenang rekan seangkatannya adalah kemampuan
istimewa Olich menyetem senar raket. Ketua umum PBSI, Soekamto Sayidiman
bercerita di sela-sela pertandingan Piala Thomas 1964 di Tokyo, di malam hari
saat pemain sudah tidur. Olicg sang pelatih melakukan pekerjaan tambahannya
menyiapkan raket sampai selesai. Ketika pemain bangun pagi, raket mereka sudah
siap pakai. Itu sebabnya kalau raket mereka belum dipegang Olich, pemain merasa
belum sreg untuk bertanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar