Selasa, 13 September 2011

TAN KING GWAN SEMANGAT UNTUK SELALU MENGIKUTI SELEKSI




Nama Tan King Gwan memang tidak setenar pemain-pemain era 1950-an yang lain. Tapi sebenarnya ia adalah salah satu motor sekaligus pelopor perbulutangkisan Indonesia. PBSI yang berdiri tahun 1951 selalu melakukan seleksi bila ingin membentuk tim tertentu karena belum ada ranking nasional resmi. Di antara yang kerap ikut seleksi ini adalah Tan King Gwan, pemuda kelahiran Salatiga 27 Juli 1932, yang besar di kota Yogya. Dia termasuk 12 atlet terbaik nasional yang diundang PBSI mengikuti Kejurnas Pertama tahun 1952 di Stadion Ikada, Jakarta, mewakili Yogya. Sebelas lain adalah, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Ong Boen Khow (Jakarta), Kusumayadi (Bogor), Lie Po Djian (Banyumas), Apit,  Olich Solichin (Priangan), Moh. Yasin (Malang), Kisno (Surabaya), Gay Khow (Pekalongan) dan Tan HoK Sioe.
Setelah saling bertanding,  Tan masuk empat besar bersama Ferry, Eddy,dan Kusumayadi dan penentuan juara dilakukan dengan sistem setengah kompetisi. King Gwan, Ferry,Eddy, masing-masing dua kali menang dan sekali kalah sehingga masuk tiga besar. Kusumayadi sebagi pemain tertua harus  gugur.
Dalam undian, Eddy menunggu di final, Ferry menang walk over atas King Gwan yang kecapaian akibat bertanding yang tanpa henti. Dia berhasil revans  atas Ferry yang sudah resmi menjadi juara nasional yakni di PON III tahun 1953 di Medan. Namun, dipertandingan berikutnya sungguh disayangkan, karena King Gwan  kalah atas Eddy. Karena tidak pernah mencapai prestasi puncak, akhirnya King Gwan memutuskan untuk menjadi pemain ganda. Hal ini terjadi secara tidak sengaja, yaitu saat dia dipasangkan dengan pemain dari Surabaya Njoo Kiem Bie untuk melawan Ferry/Eddy dalam suatu acara tahun 1955 dan menang. Dengan Kiem Bie dia berhasil merebut Piala Thomas tahun 1958 dan terlibat suatu tragedi tahun 1961 ketika sudah unggul 15-12 di set pertama dan 14-4 di set kedua atas Chavalet/Chuchart.  Tiba-tiba Kiem Bie berhenti bermain karena seperti linglung hingga sama sekali tidak bisa memukul bola.
Kekalahan itu membuat skor hari pertama final Indonesia-Thailand menjadi 2-2 meski Indonesia akhirnya menang 6-3.  Setelah Kiem Bie pensiun tahun 1951, King Gwan bepasangan dengan Unang, pemain asal Jabar. Dengan Unang lah ia mengukir sejarah. Mereka menjadi penentu kemenangan Indonesia atas Denmark di Tokyo tahun 1964 meski dia sudah ikut dua kali dalam tim yang menjuarai Piala Thomas. 1958, Ferry yang menjadi penentu saat Indonesia merebut angka kelima dengan mengalahkan Teh Kew San.
Di partai ketujuh, Indonesia gagal menjadikan skor 5-2 malah menjadi 4-3 karena Joe Hok kalah dari Kund Nielsen. Sisa dua ganda menghawatirkan karena di hari pertama Denmark merebut 2 angka sehingga skor hari pertama 2-2. Sempat tertinggal 0-11 King Gwan/Unang kalah 12-15 dari Erland Kops/Henning Borch di set pertama.  Di sini, Erland/Borch sempat protes kepada panitia akibat ributnya penonton Indonesia, sehingga King Gwan/Unang sempat mengembalikan tenaga. Mereka lalu mulai bisa mengimbangi dari ketinggalan 9-12 akhirnya menang  15-12 untuk memaksakan rubber set.
Di set ketiga mereka mendapatkan angin dan menang 15-6 artinya Idonesia memimpin 5-3 dan tidak dikejar lagi. Piala Thomas tetap di Indonesia. Sayangnya, partisipasi King Gwan di Piala Thomas diakhiri dengan kekecewaan, yakni, saat Indonesia dikalahkan Malaysia 3-6 sesuai dengan keputusan wasit kehormatan Herbert Scheele dalam final di Istora Senayan tahun 1967 karena penonton dianggap sudah menggangu jalannya pertandingan partai Agus/Mulyadi malawan Ng Boon Bee/Tan Yee Kan saat Indonesia tertinggal 3-4. Saat itu, bersama dengan Unang, dia gagal mempersembahkan angka bagi tim karena dikalahkan Ng Boon Bee/Tan Yee Kan di hari pertama dan belum sempat tampil di hari kedua.

              UNANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources